BACAN

>> Senin, Maret 30, 2009

Dia mengaku sudah bacan. Artinya, dia merasa bosan. Bacan sama dengan bosan atau jenuh. Ketika saya tanya apa yang membuat dia bacan, sambil menggaruk kepala ia menjawab, “rutinitas. Itu ke itu saja setiap hari” Dia tidak menjelaskan, rutinitas, maksud “itu ke itu saja” macam apa yang membuat dia bacan. Mungkin, pekerjaannya tidak memberinya rasa senggang, kepuasan tersendiri yang bisa menyebabkan dia segar setelah melakukannya.

Bacan adalah kata yang memastikan bahwa ternyara hidup memerlukan “sela”, jeda kerja, waktu senggang atau adanya peralihan. Karena itu, ada larangan, jangan melakukan kegiatan yang sama setiap hari. Harus ada penyela, main-main atau apalah namanya. Yang penting tidak mebuat kita menjadi bacan.

Yang tidak boleh “bacan hidup”. Karena hidup adalah amanah, untuk melakukan sesuatu, agar hati dan pikiran tak mati, bisa menggerakkan tubuh dengan kekuatan jiwa. Ehm, maksudnya kita dianjurkan untuk senantiasa memperbarui warna harapan, impian, perasaan positif pada orang lain, sebagaimana juga kita menyayangi diri dengan kegiatan yang menimbulkan rindu mengulanginya lagi. Seperti jatuh cinta, ia membuat sesuatu menjadi bacan. Etapi, kalau ada yang berkata, cinta membuatnya bacan, jenuhn bosan dan sejenisnya, itu artinya, dia belum bisa memahami hakikat cinta. Juga hakikat bacan. Yang ada barangkali asumsi pada kegamngan dirinya.

Ada pula orang yang pergi meninggalkan rumahnya dengan memaki istrinya, sembari membanting pintu, di tengah jalan tampak kaleng kosong ditendangnya. “Aku bosan!” Bisa jadi kebiasaan buruk itu, karena ia merasa bacan dengan masakan istri, suasana rumah yang sumpek, atau...atau apa ya?, oya, mungkin dia bacan pada istrinya, yang setiap dia pulang kerja tak pernah memberi senyum, menyediakan hidangan dengan cinta kasih, kecuali wajah datar dan pahit. Sehingga ketika ada yang memberi suami senyum indah di luar rumah, ajakan makan siang yang hangat, bacan pada istrinya membengkak. Atau, sebaliknya. Sang istri mingat, pulang ke rumah orang tuanya, lantaran bacan degan tingkah suaminya, yang selalu ingin dilayani, dimanjakan, dinomorsatukan, pantang dibantah serta kalau salah ingin dimaklumi.

Diserang jenuh itu manusiawi. Tandanya kita manusia. Kalau tak ada pula rasa jenuh, makna kata bacan tentulah tidak bisa kita angap sebagai suasana yang membuat kita merasa tidak enak melakukan atau mengerjakan sesuatu. Karena itulah, rasa bacan, kadang membuat seseorang menjadi perlu pergi ke pantai, menikmati deburan ombak, yang jika ditanya jawabnya, aku menyukai pantai karena rasa bacanku bagai bisa dibuang ke laut. Orang merasa bacan, bisa pergi ke bioskop, menonton film apa saja, asal menghibur. Pokoknya bacan bisa pupus cepat, bisa pula memanjang dalam hari-hari kita.

Menjelang pemilihan umum, saat ini tepatnya, kita melihat dimana-mana media sosialisasi atau kampanye para calon anggota legislatif (baliho, poster, stiker, spanduk dll) terpajang serampangan, seakan mengepung kita. Kemana pun kita pergi di Indonesia ini (kecuali hutan belantara), warah para caleg dengan pose bacan (nyaris semuanya setengah badan) membuat kita makin tidak mengerti dan bertanya, adakah mereka tahu kita bacan dan tak tahu mesti mencontreng siapa di bilik pemilu kelak. Tak ada yang berpikir, saking banyaknya media kampanye mereka, masyarakat menjadi bacan dan tidak tertarik mengenal mereka. Akhirnya yang terjadi belum kenal sudah bacan.

Bacan, bosan, jenuh sepadan kata dalam arti yang sesungguhnya sama, mengingatkan kita, untuk mewarnai dan memaknai hidup, dengan hal-hal yang mencerahkan. Sesuatu yang bisa menimbulkan, harapan dan ruang baru untuk kita bisa tersenyum, merasakan suasana sentimental, atau tempat sorak yang membiarkan kita memekik :Hoi....., aku bacannn.

Read more...

Tentang Bermamak Berkemenakan Menurut Adat

>> Kamis, Maret 19, 2009

  1. Kemenakan wajib menurut perintah dan hukum mamaknya
  2. Mamak wajib memerintah dan menhukum menurut jalan yang benar, adil dan lurus
  3. Mamak sekali-kali tidak boleh memerintah atau menghukum di luar baris yang lurus dan adil.
  4. Mamak wajib menyamaratakan kemenakannya itu, seumpama : Patut kalah, disalahkan, Patut menang, dimenangkan, yang benar juga dikawani, tidak boleh kemenakan itu dipertambah-kurangkan atas jalan keadilan.
  5. Jika ada kelakuan atau perangai kemenakannya yang kurang baik, wajib mamak itu menunjuk, mengajari, menegur, menyapa atas perbuatan kemenakannya yang salah itu.
  6. Kalau kemenakan tidak mau menurut perintah atau ajaran mamaknya itu kepada jalan kebenaran (kebaikan), wajib mamaknya itu menghukum dengan adil atas kemenakannya yang engkar itu. Kalau tidak kuasa mamaknya itu menghukumkan atas kemenakannya yang bersalah itu, maka wajib mamak itu mengadukan kemenakannya itu kepada yang patut.
  7. Mamak sekali-kali tidak boleh membiarkan saja apa kelakuan perangai kemenakannya yang salah itu sepanjang adat.

Read more...

Rasa Kata

>> Rabu, Maret 04, 2009

RASA KATA

Sumber : Yusrizal KW
LAPEH

Lapeh berarti lepas atau bebas. Orang Minang menyebut “lapeh” (lepas), untuk menjelaskan banyak hal, dalam konteks makna tertentu. Yang berkait dengan ayam saja, kita aikan mendengar “lapeh ayam” dan lapeh-lapeh ayam”. Walaupun sama pakai kata lapeh dan ayam, arti keduanya ternyata bisa berbeda.

Lapeh ayam berari dilepas begitu saja, tanpa diberi bekal apapun. Kadang, ada pula seorang suami sembari berseloroh kepada temannya, “Tadi di rumah lapeh ayam se nyo...Pergi cari lontong yuk.” Berarti, dia tidak sarapan atau ngopi, bisa jadi istrinya tidak sempat menghidangkan atau memang tabiat istrinya suka membiarkan tanpa hidangan pagi. Sang suami oke-oke saja, bak ayam dibukakan kandangnya, langsung pergi, berkeliaran sendiri. Kalau lapeh-lapeh ayam, ini lain pula ceritanya. Kalau belum dipercaya sepenuhnya, begitu kurang lebih maksudnya. Belum dibiarkan jalan sendiri, tau masih dalam pengawasan.

Nah, ingat, ada pula “lapeh salero”. Ini artinya melepas selera, untuk kenikmatan lidah. Makanya, kalau ada orang diam-diam pergi makan ke tempat yang enak, tidak mengajak teman dekat, pas ketahuan, maka sindirannya, “Pergi melepas selera sembunyi-sembunyi pula....” Lepas selera, bisa juga diartikan sebagai upaya mencari kenikmatan, lalu merasakannya dengan senang.

Nah kalau ada orang berteriak sambil menahan kesal, sudah lepas kijang ke rimba, aduh mak, tentulah ini yang dikatakan kiasan itu sebagai hilangnya kesempatan. Orang sudah berperang sejak pagi, peluang ada, tapi lengah, akhirnya diambil orang. Nah, karena tidak mau bertanggungjawab akan hilangnya kesempatan, “lepas” tangan. Tak mau bertanggungjawab, karena menganggap sebagai kesuksesan yang tertunda.

Kata lepas, sesungguhnya bermakna bebas, tidak ada yang mengikat dan merupakan wujud dari kekuasaan. Kelepasan artinya sesuatu yang tidak sengaja, mungkin karena lalai atau khilaf. Karena itu, ketika ada kata “lepas” ketika sesungguhnya ada kata “ikat”, “tahan”, “kunci”, dan “kurung”. Artinya banyak lawan kata untuk berbagai makna terhadap kata “lepas”. Untuk kata lepas saja, apalagi di Minang, banyak bisa makna dan arti kata yang bisa dikembangkan.

Orang lepas, berarti ungkapan itu, ia adalah orang yang tidak ingin menjadi pegawai negeri, diikat oleh aturan perusahaan swasta masuk dan keluar dengan disiplin tertentu yang menurutnya kaku. Maka, dia akan menyebut dirinya “Saya orang lepas”. Tapi orang lepas kadang bisa juga dinilai, manusia tanpa kepastian. Manusia kadang-kadang kerja, kadang-kadang nganggur, kadang-kadang bingung. Manusia lepas bisa juga berkonotasi positif, independen, tidak mengabdi dan tunduk pada kekuasaan mana pun. Hitam katanya hitam, putih katanya putih, idealis karena tidak ada jabatan yang dipertaruhkan.

Lepas dengan hati, berarti lepas di sini mengemban amanah ketulusan. Lepas itu adalah doa. Makanya di Minang ini, kadang sering kita dengar ungkapan, dilapeh jo hati nan janiah (dilepas dengan hati yang jernih). Maknanya mendalam. Bisa jadi, diantar pergi dengan doa dan harapan, semoga kelak menimbulkan rindu, untuk datang membawa senyum yang lepas, tak ada keraguan bahwa hidup adalah kebebasan yang indah.

Tapi lain pula halnyo, kalau ada orangtua berkata “alun ado yang lapeh lai” (belum ada yang lepas lagi), ini berari, bisa anaknya belum bekerja atau berkeluarga. Masih di bawah tanggungan kedua orangtua. Tetapi, bagi yang anaknya sudah bekerja atau berkeluarga, dia bisa saja berkata, agak lapang sedikit. Anak-anak alah lapeh (anak-anak sudah lepas).

Tetapi kata “lepas” tentulah sebuah kata, yang hakikatnya, kebebasan dan kelapangan sebagai sesuatu yang patut diraih, sesuai konteks makna positifnya.

Read more...

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP