RASA KATA: Nio

>> Selasa, April 07, 2009

Nio?

Pertanyaan ini bisa membuahkan geleng atau angguk. Tidak atau iya. Karena, memang hidup ini kadang berada di simpang “nio”, untuk memutuskan esensi atau pilihan hati (pikiran) apa yang kita kehendaki secara subyektif.

Kalau orang Minang menyebut kata “nio” itu artinya “mau”. Nio sama dengan mau atau ingin. “Apo nio paja ko (Apa maunya dia ini),” atau “Hiduik ka indak bisa nionyo awak (hidup ini tidak bisa maunya kita)”. Karena itu, kalau kita bisa mengarifi, hidup tak bisa sesuai dengan maunya kita saja, maka, kita akan mengangguk bijaksana. Orang juga punya nio, punya mau yang perlu kita pertimbangkan.

Kalau kita pahami nio sebagai ingin, yah setiap kita punya ingin. Karena ingin, kita idealnya, isi dulu ruang-ruang kebutuhan diri dulu. Kita sadar, hidup ini selalu akan menghujamkan godaannya, seakan berbisik mesra: hidup hanya sekali, mekarkanlah inginmu. Lalu kita lupa mengukur bayang-bayang sepanjang badan. Hal ideal, bayangan badan adalah batas mampu kita, terabaikan, karena kita ingin memanipulasi asal cahaya yang membuat bayangn kita menjauh dari realita riil, tak terlihat lagi, tapi terbayangkan saja sesuai nafsu “nio” alias ingin tadi.

Kalau orangtua memaksa anaknya menikah dengan pilihan hatinya, si anak gadis sering menggeleng dan sesekali membenam tangis di balik bantal, itu artinya amak dan abaknya, menyuruh anaknya kawin dengan orang yang dia tidak nio. Padahal, si anak, nio abak dan amaknya memahami kebutuhannya, bahwa dia nio menikah dengan orang yang dia inginkan. Diinginkannya inilah yang jadi dibutuhkan. Padahal anaknya butuh si Badu, orangtuanya ingin si Anu. Yang dibutuhkan anak, adalah keinginan anak: tertumpang impian-impian yang berenergi dan butuh tadi. Tapi kalau ingin kisah cinta Romeo dan Juliet, mereka menginginkan racun untuk jalan bersama menuju mati, kebutuhan untuk dihormati dalam saling cinta tak terpenuhi.

Itu antara lain bicara nio. Kalau ditanya nionya para caleg, maka dia ingin terpilih, kalau ditanya lagi apa butuhnya? Suara sebanyak-banyaknya. Nah, adakah dia memenuhi dan berjuang meraih apa yang dibutuhkan.

Yang susahnya, jadi orang banyak nio. Banyak mau. Banyak ingin. Semua akhirnya buat kita jadi emosional, kadang pemarah hingga berpikir hidup ini tidak indah. Gaji pas-pasan, maunya selera lepas. Kerja malas. Diajak orang kerja, maunya seperti yang kita nio, tak sebagaimana aturan atau standar orang yang menggaji kita. Kita selalu terjebak oleh keinginan bahwa orang lain itu harus seperti apa yang kita mau. Makanya, kalau orang berlabel “cap nio” ini disuruh cari anak buah, merekrut karyawan, bukan mustahil hasilnya seperti yang dia nio, bukan sebagaimana mestinya mengisi kebutuhan. Kalau ada yang mengingatkan dan mengkritik pilihannya maka jawabnya, “Yang bos itu aku, ya semaukulah...”

Kadang pening pula kita. Misalnya melirik ke wilayah politik. Kepemimpinan. Lau, muncullah sebuah pertanyaan, apakah bupati/walikota, gubernur hingga presiden itu hadir bukan berdasarkan kebutuhan rakyat tapi keinginan partai atau politisi? Apa pasal? Sebelum nyoblos langsung, orang yang dicalonkan sesungguhnya sudah ditonggokkan saja oleh partai atau geng politisi? Kita tinggal memilih nama-nama yang mereka inginkan memimpin negeri ini, bukan berdasarkan siapa yang dibutuhkan memimpin negeri ini. Makanya banyak putra-putri Indonesia tercinta, yang hebat, bermoral dan cerdas, lantaran tidak dimunculkan karena mungkin tidak berpartai dan tidak berduit, sehingga apa yang kita nikmati di negeri ini, mulai dari berbagai kebijakan dan polah kepemimpinan, sesungguhnya menimbulkan pertanyaan besar: iko nionyo urang-urang nan banamo politisi atau pemain yang ingin memaksakan keinginannya kelak jika orang diinginkan jadi pemimpin.

Kata nio, bagian dari spirit komunikasi atau percakapan sehari0hari. Nio adalah mau, ingin, yang sebagaimana terungkap di atas, merupakan simpang pilihan, yang lebih tegasnya:berpikir pada kebutuhan. Dari situlah kelak, apakah kita bisa menggumamkan lata nio, mau, ingin....

0 komentar:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Palm by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP